Berikut adalah penjelasan lengkap rincian waktu shalat lima waktu dari bahasan Matan Taqrib dan syarh (penjelasan)-nya. Semoga manfaat.
Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib
Kitab Shalat
Mengenal Shalat dan Waktu Shalat
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,
كِتَابُ الصَّلاَةِ
مَوَاقِيْتُ الصَّلاَةِ:
الصَّلاَةُ المَفْرُوْضَةُ خَمْسٌ: الظُّهْرُ: وَأَوَّلُ وَقْتِهَا زَوَالُ الشَّمْسِ وَآخِرُهُ إِذَا صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ بَعْدَ الزَّوَالِ ، وَالعَصْرُ: وَأَوَّلُ وَقْتِهَا الزِّيَادَةُ عَلَى ظِلِّ المِثْلِ وَآخِرُهُ فِي الاِخْتِيَارِ إِلَى ظِلِّ المِثْلَيْنِ وَفِي الجَوَازِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ ، وَالمَغْرِبُ: وَوَقْتُهَا وَاحِدٌ وَهُوَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ وَبِمِقْدَارِ مَا يُؤَذِّنُ وَيَتَوَضَّأُ وَيَسْتُرُ العَوْرَةَ وَيُقِيْمُ وَيُصَلِّي خَمْسَ رَكَعَاتٍ ، وَ العِشَاءُ: أَوَّلُ وَقْتِهَا إِذَا غَابَ الشَّفَقُ الأَحْمَرُ وَآخِرُهُ فِي الاِخْتِيَارِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَفِي الجَوَازِ إِلَى طُلُوْعِ الفَجْرِ الثَّانِي ، وَالصُّبْحُ: وَأَوَّلُ وَقْتِهَا طُلُوْعُ الفَجْرِ الثَّانِي وَآخِرُهُ فِي الاِخْتِيَارِ إِلَى الأَسْفَارِ وَ فِي الجَوَازِ إِلَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ.
Kitab Shalat
Waktu-Waktu Shalat
Shalat itu ada lima waktu:
- Shalat Zhuhur, awal waktunya adalah saat waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Akhir waktunya adalah saat tinggi bayangan bertambah sama dengan tinggi bendanya (dan tidak termasuk panjang bayangan saat zawal).
- Shalat ‘Ashar, awal waktunya adalah saat tinggi bayangan bertambah dari tinggi bendanya. Akhir waktunya -yang disebut waktu ikhtiyar (pilihan)- adalah saat tinggi bayangan bertambah dua kali tinggi benda. Akhir waktu jawaz (bolehnya) adalah saat matahari tenggelam.
- Shalat Maghrib, waktunya hanya satu, dimulai saat matahari tenggelam. Lamanya sekadar azan, berwudhu, menutup aurat, menegakkan shalat, dan shalat yang dikerjakan adalah lima rakaat.
- Shalat ‘Isyak, awal waktunya adalah jika awan merah di ufuk telah hilang. Akhir waktunya -yang disebut waktu ikhtiyar (pilihan)- adalah hingga 1/3 malam. Akhir waktu jawaz (bolehnya) adalah saat terbit fajar kedua (fajar shadiq).
- Shalat Shubuh, awal waktunya adalah saat terbit fajar kedua (fajar shodiq). Akhir waktunya -yang disebut waktu ikhtiyar (pilihan)- adalah sampai isfaar. Akhir waktu jawaz (bolehnya) adalah sampai matahari terbit.
Penjelasan:
Waktu shalat yang dibahas di sini adalah waktu shalat fardhu sehari semalam. Tidak boleh mengakhirkan sampai keluar waktunya, hal ini berdasarkan ijmak atau kata sepakat ulama.
Ada beberapa dalil yang membicarakan waktu shalat.
Dalil pertama adalah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنِ الصَّلاَةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ
“Waktu Zhuhur dimulai saat matahari tergelincir ke barat (waktu zawal) hingga bayangan seseorang sama dengan tingginya dan selama belum masuk waktu ‘Ashar. Waktu Ashar masih terus ada selama matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib adalah selama cahaya merah (saat matahari tenggelam) belum hilang. Waktu shalat ‘Isya’ ialah hingga pertengahan malam. Waktu shalat Shubuh adalah mulai terbit fajar (shodiq) selama matahari belum terbit. Jika matahari terbit, maka tahanlah diri dari shalat karena ketika itu matahari terbit antara dua tanduk setan. ” (HR. Muslim, no. 612)
Dalil kedua adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّنِى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلَّى بِىَ الظُّهْرَ حِينَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ وَصَلَّى بِىَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ وَصَلَّى بِىَ – يَعْنِى الْمَغْرِبَ – حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ وَصَلَّى بِىَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ وَصَلَّى بِىَ الْفَجْرَ حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِىَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ وَصَلَّى بِىَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ وَصَلَّى بِىَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ وَصَلَّى بِىَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِىَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَىَّ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ هَذَا وَقْتُ الأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
“Jibril ‘alaihis salam pernah mengimamiku di rumah dua kali. Pertama kali, ia shalat Zhuhur bersamaku ketika matahari bergeser ke barat dan saat itu panjang bayangan sama dengan panjang tali sandal. Lalu beliau shalat ‘Ashar bersamaku ketika panjang bayangan sama dengan panjang benda. Kemudian beliau melaksanakan shalat Maghrib bersamaku ketika orang-orang berbuka puasa. Lalu beliau melaksanakan shalat ‘Isya’ bersamaku ketika cahaya merah saat matahari tenggelam hilang. Kemudian beliau shalat Fajar (shalat Shubuh) bersamaku ketika telah haram makan dan minum bagi orang yang berpuasa. Kemudian esok harinya, ia shalat Zhuhur bersamaku ketika panjang bayangan sama dengan panjang benda. Lalu ia shalat ‘Ashar bersamaku ketika panjang bayangan sama dengan dua kali panjang benda. Kemudian beliau shalat Maghrib ketika orang-orang berbuka puasa. Lalu beliau shalat ‘Isya’ hingga sepertiga malam. Kemudian ia shalat Shubuh bersamaku setelah itu waktu isfaar. Kemudian ia berpaling padaku dan berkata, “Wahai Muhammad, inilah waktu shalat sebagaimana waktu shalat para nabi sebelum engkau. Batasan waktunya adalah antara dua waktu tadi.” (HR. Abu Daud, no. 393 dan Ahmad, 1:333. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih).
Shalat wajib dikerjakan pada waktunya, tidak mesti dikerjakan pada awal waktu dengan segera, tetapi boleh saja diakhirkan hingga waktu yang masih ada. Namun, jika tidak mengerjakan pada awal waktu, wajib untuk berazam (bertekad) mengerjakan sebelum waktunya habis. Oleh karenanya, ketika sudah masuk waktu shalat, hendaklah:
(1) mengerjakan shalat tersebut pada awal waktu,
(2) berazam (bertekad) mengerjakannya pada waktunya sebelum habis waktu.
Jika tidak mengerjakan dan tidak berazam, maka berdosa. Jika ia sudah berazam (bertekad) untuk mengerjakan pada waktunya, tetapi akhirnya belum mengerjakan, kemudian meninggal dunia padahal waktu shalat masih ada, ia tidak mati dalam keadaan bermaksiat. Namun, jika dikerjakan di luar waktu, maka berdosa.
Catatan:
- Dalam masalah haji, jika seseorang menunda haji padahal punya kemampuan kemudian meninggal dunia, maka maka ia meninggal dunia dalam keadaan bermaksiat. Karena waktu untuk berhaji adalah selama umur masih ada. Jika telah meninggal dunia, berarti telah habis waktunya.
- Waktu shalat adalah dari awal waktu hingga waktu maa yasa’uhaa, hingga waktu itu masih ada dengan kadar mengerjakan shalat yang ringan. Jika waktu sudah sempit, hendaklah mengerjakan shalat dengan segera.
- Jika mendapatkan satu rakaat pada waktunya, maka seluruh shalat yang dikerjakan dianggap ada-an (mengerjakan pada waktunya). Jika satu rakaat ini tidak didapati pada waktunya, maka seluruh shalat dianggap qadha’. Yang mengerjakan ada-an tadi tidaklah berdosa, walaupun ketika ia memulai shalat, waktu yang ada hanya bisa mengerjakan yang wajib-wajib saja. Namun, yang afdal, ia tetap masih boleh mengerjakan perkara sunnah dalam shalat.
Lihat Hasyiyah Al-Baajuury, 1:495-496.
Waktu Shalat Zhuhur
Shalat Zhuhur ini adalah shalat yang pertama kali dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril di Masjidil Haram. Waktu shalat Jumat juga sama dengan waktu Zhuhur.
Awal waktu Zhuhur adalah tergelincirnya matahari dari tengah langit, akhirnya bayangan menjadi ke arah timur.
Akhir waktu Zhuhur adalah saat tinggi bayangan bertambah sama dengan tinggi bendanya (dan tidak termasuk panjang bayangan saat zawal).
Waktu Zhuhur dibagi menjadi enam:
- Waktu fadhilah (utama): awal waktu.
- Waktu ikhtiyaar (pilihan): berlangsung terus hingga tinggi bayangan sama dengan tinggi benda.
- Waktu jawaz (boleh): tersisa waktu maa yasa’uhaa, menunaikan shalat masih di waktunya.
- Waktu hurmah (diharamkan): akhir waktu di mana tersisa waktu yang tidak memungkinkan mengerjakan shalat, maka diharamkan untuk ditunda.
- Waktu dhoruroh (darurat): jika hilang penghalang dari shalat seperti haidh, lalu masih ada waktu setelah mandi sekadar takbiratul ihram dan lebih dari itu, maka shalat tetap dikerjakan.
- Waktu ‘udzri (uzur): waktu Ashar bagi yang melakukan jamak takhir.
Penulis matan Taqrib memulai dengan penyebutan shalat Zhuhur karena:
Alasan pertama: firman Allah,
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’: 78). Awal waktu dulukisy syamsi adalah waktu Zhuhur.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Isra’ ayat 78 Mengenai Shalat Jamak
Alasan kedua: shalat Zhuhur adalah shalat yang tampak (zhahar) dalam Islam.
Alasan ketiga: shalat Zhuhur adalah shalat pertama yang dilakukan oleh Jibril bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya. Jibril ketika itu menjadi imam untuk Nabi dan sahabatnya.
Lihat Hasyiyah Al-Baajuury, 1:496-497.
Waktu Shalat Ashar
Shalat Ashar inilah yang dimaksud dengan shalat wustha.
Allah Ta’ala berfirman,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 238)
Disebut Ashar, karena arti Ashar itu dekat dengan waktu Maghrib.
Awal waktu Ashar adalah saat tinggi bayangan bertambah dari tinggi bendanya.
Akhir waktu Ashar adalah saat bulatan matahari tenggelam sempurna.
Waktu Ashar dibagi menjadi tujuh:
- Waktu fadhilah (utama, pahalanya lebih besar): awal waktu.
- Waktu ikhtiyaar (pilihan): berlangsung terus hingga tinggi bayangan bertambah dua kali tinggi benda.
- Waktu jawaz (boleh): hingga waktu ishfiror, matahari menguning.
- Waktu jawaz ma’al karohah (boleh disertai makruh): dari waktu ishfiror, matahari menguning hingga tersisa waktu masih bisa mengerjakan shalat yang ringan (maa yasa’u shalah).
- Waktu hurmah (diharamkan): akhir waktu hingga tidak tersisa waktu untuk mengerjakan shalat.
- Waktu dhoruroh (darurat): akhir waktu ketika hilang penghalang dari shalat.
- Waktu ‘udzri (uzur): waktu Zhuhur ketika melakukan jamak takdim.
Baca juga: Shalat pada Waktunya dan Menjaga Shalat Ashar
Waktu Shalat Maghrib
Disebut Maghrib karena pada saat itu adalah waktu tenggelamnya matahari.
Waktu shalat Maghrib adalah satu waktu di mana bulatan matahari sudah tenggelam sempurna, lalu berlanjut waktu sekadar: (1) berwudhu, (2) menutup aurat, (3) azan Maghrib, (4) iqamah, (5) dua rakaat shalat sunnah qabliyah, (6) shalat fardhu Maghrib tiga rakaat, (7) shalat bakdiyah Maghrib dua rakaat. Namun, pendapat yang menyatakan shalat Maghrib adalah satu waktu adalah madzhab jadid (pendapat terbaru Imam Syafii). Satu waktu berarti tidak ada waktu fadhilah, waktu ikhtiyaar, dan waktu jawaz. Menurut pendapat ini, Jibril shalat pada waktu Maghrib hanya satu waktu. Namun, pendapat ini lemah (marjuuh).
Sedangkan menurut pendapat qadim (pendapat lama) dan inilah yang dikuatkan oleh para ulama karena kuatnya dalil, bahwa waktu shalat Maghrib itu hingga hilang cahaya merah di ufuk. Pembagian waktunya sama dengan pembagian waktu Ashar, yaitu ada tujuh waktu. Pendapat qadim inilah yang menjadi pendapat mu’tamad (resmi madzhab).
Baca juga: Waktu Shalat Maghrib itu Satu Waktu dan Sanggahannya
Waktu Shalat Isyak
Isyak berarti awal mulai gelap. Shalat Isyak berarti shalat yang dikerjakan pada waktu mulai gelap.
Awal waktu Isyak adalah setelah cahaya merah di ufuk barat menghilang.
Akhir waktu Isyak adalah terbit fajar Shadiq (fajar Shubuh).
Waktu Isyak itu ada tujuh macam:
- Waktu fadhilah (utama): pada awal waktu.
- Waktu ikhtiyar (pilihan): hingga sepertiga malam.
- Waktu jawaz (boleh): hingga fajar kadzib (fajar dusta), mendekati Shubuh.
- Waktu jawaz ma’al karohah (boleh disertai makruh): setelah fajar kadzib hingga waktu maa yasa’u ash-shalah (waktu masih bisa mengerjakan shalat).
- Waktu hurmah (diharamkan): akhir waktu di mana tersisa waktu yang tidak mungkin lagi mengerjakan shalat (maa laa yasa’u ada-ash sholah).
- Waktu dharurah (darurat): waktu hilangnya penghalang.
- Waktu ‘udzrin (uzur): waktu Maghrib bagi yang melakukan shalat Isyak pada waktu Maghrib dengan jamak takdim.
Catatan dari web Kemenag.go.id:
Fajar shadiq ditandai dengan makin terangnya cahaya di ufuk timur. Pada kurva cahaya, awal fajar ditandai dengan mulai berpisahnya kurva cahaya dari garis linear, lalu berubah dengan cepat menjadi makin terang. Perlu difahami, fajar kadzib disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antar-planet. Cahayanya menjulang sepanjang ekliptika dengan cahaya lembut dan berubah secara lambat. Sedangkan cahaya fajar shadiq berasal dari hamburan cahaya matahari oleh atmosfer bumi. Cahayanya membentang di ufuk dan makin terang secara cepat.
Dalil Syafiiyah bahwa waktu shalat Isyak hingga waktu Shubuh adalah hadits Abu Qotadah,
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى
“Orang yang ketiduran tidaklah dikatakan tafrith (meremehkan). Sesungguhnya yang dinamakan meremehkan adalah orang yang tidak mengerjakan shalat sampai datang waktu shalat berikutnya.” (HR. Muslim, no. 681). Waktu ini adalah waktu masih dibolehkan shalat Isyak, masih dianggap ada-an (ditunaikan di waktunya) dan tidak terkena dosa bagi yang menunaikan ketika itu. Beda dengan ulama Hambali yang berpendapat bahwa penunaian shalat Isyak setelah pertengahan malam adalah berdosa dan ini adalah waktu dhoruroh menurut mereka. Waktu dhoruroh hanya dibolehkan bagi orang yang punya udzur seperti wanita yang baru suci dari haidh, orang kafir yang baru masuk Islam, seseorang yang baru baligh, orang gila yang kembali sadar, orang yang bangun karena ketiduran dan orang sakit yang baru sembuh. Orang-orang yang punya udzur seperti itu masih boleh mengerjakan shalat ‘Isya’ ketika waktu dhoruroh.
Baca juga: Akhir Waktu Shalat Isyak
Waktu Shalat Shubuh
Shubuh adalah waktu awal pagi. Shalat Shubuh berarti shalat yang dilakukan pada awal pagi.
Awal waktu shalat Shubuh adalah terbit fajar shadiq.
Akhir waktu shalat Shubuh adalah terbit matahari.
Waktu shalat Shubuh dibagi menjadi enam:
- Waktu fadhilah (utama): awal waktu.
- Waktu ikhtiyar (pilihan): hingga waktu isfaar (mulai terang).
- Waktu jawaz (boleh): hingga terbit al-humrah (cahaya merah).
- Waktu jawaz ma’al karohah (boleh disertai makruh): hingga waktu maa yasa’u ash-shalah (waktu masih bisa mengerjakan shalat).
- Waktu dharurah (darurat): waktu hilangnya penghalang dan masih tersisa waktu untuk takbiratul ihram dan seterusnya.
- Waktu hurmah (diharamkan): menunda shalat hingga tidak tersisa waktu untuk menunaikan shalat.
Catatan tentang Waktu Shalat
Pertama: Shalat Zhuhur disunnahkan ditunda hingga agak dingin ketika cuaca sangat panas di negeri yang begitu panas seperti di Hijaz. Hal ini tidak berlaku pada musim dingin, tidak berlaku pula di daerah yang tidak begitu panas.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اشْتَدَّ الْبَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ ، وَإِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya jika keadaan sangat dingin beliau menyegerakan shalat dan jika keadaan sangat panas/terik beliau mengakhirkan shalat” (HR. Bukhari, no. 906).
Dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
“Apabila cuaca sangat panas, akhirkanlah shalat zhuhur sampai waktu dingin karena panas yang sangat merupakan hawa panas neraka jahannam.” (HR. Bukhari, no. 536 dan Muslim, no. 615).
Kedua: Shalat pada awal waktu termasuk amal yang paling afdal. Menurut pendapat yang masyhur, shalat Isyak disunnahkan untuk disegerakan berdasarkan hadits-hadits yang umum dan itulah yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ummu Farwah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, amalan apakah yang paling afdal. Beliau pun menjawab,
الصَّلاَةُ فِى أَوَّلِ وَقْتِهَا
“Shalat di awal waktunya.” (HR. Abu Daud no. 426. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketiga: Jika orang yang shalat tidaklah mendapatkan takbiratul ihram melainkan setelah keluar dari waktu shalat, maka shalat tersebut dianggap shalat qadha’. Jika bagian shalat didapati pada waktunya, maka shalat tersebut dianggap shalat ada’an, bagian yang tersisa yang dikerjakan setelah keluar waktu dianggap qadha’.
Keempat: Penundaan shalat hingga keluar dari waktunya dihukumi haram.
Kelima: Siapa saja yang tidak mengetahui waktu shalat (misalnya karena sebagai tahanan, berada di kegelapan padang pasir), ia wajib berijtihad dalam penentuan waktu masuknya shalat. Jika tanpa berijtihad, ia harus mengulangi shalat. Jika shalat dikerjakaan seluruhnya atau sebagiannya sebelum waktunya (takbiratul ihram sebelum waktunya), shalat wajib diulangi karena pengerjaan shalat tersebut sebelum waktunya.’
Keenam: Shalat faa’itah atau yang luput yang tidak dikerjakan pada waktunya, maka shalat tersebut dianggap qadha’. Urutan pengerjaan shalatnya disunnahkan secara berurutan. Siapa yang luput shalat untuk satu hari, ia mengerjakan mulai dari shalat Shubuh, Zhuhur, dan seterusnya.
Ketujuh: Dalam hadits disebutkan,
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Siapa yang lupa shalat atau tertidur darinya, maka kafarahnya (tebusannya) adalah ia mengerjakan shalat ketika ia ingat.” (HR. Muslim, no. 684, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).
Catatan: Siapa yang lupa beberapa shalat dari shalat lima waktu, lantas ia tidak mengetahui shalat apa yang ia lupa dalam sehari (apakah shalat Shubuh, Zhuhur, dan seterusnya), maka ia shalat lima waktu dari Shubuh hingga Isyak dan berniat qadha’ untuk setiap shalat yang luput.
Kedelapan: Hendaklah menyegerakan mengerjakan shalat yang luput, hukumnya wajib untuk segera mengerjakan jika luputnya tanpa ada uzur dan hukumnya sunnah untuk segera mengerjakan jika luputnya karena ada uzur (uzurnya seperti karena tidur dan lupa). Hendaklah berurutan dalam mengerjakan shalat yang luput (faa’itah) lalu shalat yang ada saat ini (shalat haadhiroh), hukumnya sunnah. Namun, jika waktu shalat haadhiroh itu sudah tinggal sedikit, maka shalat haadhiroh lebih didahulukan dari shalat faa’itah.
Kesembilan: Siapa yang punya kewajiban shalat faa’itah (yang luput) lalu ia mendapati shalat berjamaah saat itu sedang dilaksanakan (sedang shalat haadhiroh), maka disunnahkan ia mendahulukan shalat faa’itah dengan mengerjakannya sendiri (munfarid), lalu ia mengerjakan shalat haadhiroh setelah itu. Hal ini dilakukan untuk melepaskan diri dari kewajiban faa’itah tadi terlebih dahulu.
Baca juga:
- Penjelasan Waktu Shalat Menurut Ulama Syafiiyah
- Syarat Shalat, Masuknya Waktu
- Penjelasan Waktu Shalat dari Bulughul Maram
Referensi:
- Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
- Fath Al-Qarib Al-Mujiib fi Syarh Alfaazh At-Taqriib. Cetakan pertama, Tahun 1444 H. Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin Qasim Al-Ghazzi Asy-Syafi’i. Tahqiq & Ta’liq: Mahmud Hassun Al-Khalaf, Taqdim: Dr. Labib Najib ‘Abdullah. Penerbit Daar Adh-Dhiyaa’.
- Tashiil Al-Intifaa’ bi Matn Abi Syuja’ wa Syai’ mimmaa Ta’allaqa min Dalil wa Ijma’ min Thaharah ila Al-Hajj.Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin Husain Al-Qadiri. www.alukah.net.
–
Diselesaikan 23 Muharram 1445 H, 10 Agustus 2023 di perjalanan Pondok DS Panggang – Jogja
Artikel Rumaysho.Com